OPINI – Kisah Socrates yang menenggak racun kematian, demi tegaknya hukum Athena, merupakan ajaran moral dan etika tertinggi di setiap mata kuliah filsafat hukum. Murid Socrates, bisa membatalkan hukuman mati tersebut dengan kekuasaan yang dimiliki, namun Socrates menolak tawaran Plato, demi tegaknya hukum Athena. Kematian Socrates merupakan penghormatan terhadap hukum negara.
Bagaimana dengan Yang Mulia Anwar Usman? Seorang Hakim karir, yang kemudian di daulat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi?
Prosa religius dihembuskan oleh Anwar Usman, bahwa kekuasaan tertinggi milik Tuhan Sang Penguasa semesta. Anwar Usman tidak memperkenalkan Dewa baru, sekaligus tidak melawan hukum negara, melainkan menjalankan tugas memeriksa dan mengadili suatu perkara pengujian Undang-Undang.
Putusan yang dibacakan, berikut turunan perbebedaan pendapat dari para Hakim Konstitusi kemudian mendapatkan reaksi keras, nyaris mendekati rumus fisika quantum einstein.
Namun demikian, Anwar Usman tetap membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, mengangkat orang yang akhirnya memberhentikan dirinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, Anwar Usman tidak kehilangan palu, kecuali untuk memeriksa perkara Pemilu.
Suatu putusan Majelis Kehormatan yang terlihat luar biasa, namun menggelitik pemikir hukum. Bagaimana mungkin, Ketua Mahkamah Konstitusi yang diangkat oleh Presiden, ssbagai Kepala Pemerintahan, diberhentikan oleh suatu Majelis Kehormatan yang dibentuk oleh MK sendiri.
Disini para pemerhati hukum dan penggila politik, kecolongan, meskipun telah melakukan selebrasi. Sadar atau tidak, penyelesaian polemik Putusan MK, idealnya dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara, untuk membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Presiden memiliki tanggungjawab terhadap polemik tersebut.
Yang terjadi hari ini, justeru terang benderang, tidak ada keterlibatan Presiden RI terhadap prosesi yang terjadi di Mahkamah Konstitusi, yang sebaliknya justeru ditanggapi oleh Capres dan Cawapres.
Dilihat dari perspektif hukum, yang diputuskan oleh Majelis Kehormatan secara Ketata Negaraan atay lebih spesifik Administrasi Pemerintahan, menjadi sesuatu yang _abuse of power_.
Seharusnya, yang keluar dari Majelis Kehormatan adalah rekomendasi kepada Presiden RI untuk memberhentikan Ketua MK, sekaligus sebagai Hakim Konstitusi. Dengan demikian bola akan berada di tangan Presiden RI sebagai Kepala Pemerintahan, dan sah secada Administrasi.
Dengan demikian, para pemerhati terkecoh, namun terlihat substansi hukum sebagai tatanan tidak lagi penting, untuk meluapkan kekecewaan. Tapi, ini adalah gambaran pemahaman bernegara yang mengarah ke opinion state, bukan lagi rechstaat apalagi matchstaat, melainkan opinionstate.
Kembali ke Socrates, karena yang menjatuhkan hukuman bukan state, melainkan istitusi, maka Anwar Usman memang tidak perlu mundur sebagai Hakim Konstitusi, bahkan untuk membatalkan Putusan Majelis Kehormatan, juga masih isa diuji di PTUN, jika tidak sesuai dengan AUPB. Jika tidak dilakukan, maka, bisalah kita mengatakan, Anwar Usman mendekati jiwa Socrates dengan bahasa religius, kembalikan pada Tuhan. Wallau a’lam bisshawab
— Acram Mappaona Azis, Praktisi Hukum